Baca sebelumnya : Berpikir positif - 1
Pada artikel Berpikir positif - 1 saya mengajak kita untuk memiliki pikiran positif sehingga kita terjebak di dalam prasangka yang buruk terhadap orang lain. Kali ini saya juga akan mengajak kita sekalian untuk merenungkan kehidupan seorang tokoh yang Alkitab yang memberi teladan tentang sikap berpikir positif. Tokoh itu adalah Yusuf.
Marilah kita membaca Kejadian 45:1-8. Kalau saudara menjadi Yusuf maka 1001 macam alasan untuk bisa menganggap diri saudara menjadi orang yang paling malang, bernasib sial, dan apesnya gak ketulungan. Coba bayangkan hanya gara-gara baju baru dari Papanya, Yakub, ia mau dibunuh oleh saudara-saudaranya. Padahal ia menyusul mereka untuk mengirimkan makanan. Betapa ia dengan wajah tanpa dosa membawa rantang makanan dan memberikan kepada kakaknya, tetapi apa balasan mereka? Ia hampir dibunuh. Lebih celaka lagi ternyata tidak jadi dibunuh tetapi dijual kepada orang asing. Pasti Yusuf menangis sepanjang perjalanan. Kemudian ia diperkerjakan di rumah pejabat Mesir, Potifar. Karirnya perlahan tapi pasti mulai menanjak karena kesetiaan, kerajinan, kejujuran, dan kecakapan Yusuf, ia dipercaya menjadi kepala pengurus rumah tangga Potifar. Tetapi untung tak dapat diraih dan malang tak dapat ditolak, isteri majikannya jatuh cinta kepada dia.
Loading...
Ini keuntungan/bejo atau malapetaka? Jelas dan tegas bagi Yusuf ini adalah malapetaka yg harus dihindari (karena ada orang yang menganggap ini adalah keuntungan, “yang penting aku hidup, dapat keuntungan, karir menanjak dan bagus, gak masalah terima lirikan Tante Potifar.” Hati-hati Iblis selalu melirik saudara dengan pandangan jatuh cinta dan kalau saudara tidak waspada maka saudara dijatuhkannya!). Yusuf menghindar dari dosa, tetapi justru kemalangan yang ia dapat. Ia difitnah dan dijebloskan ke dalam penjara. Aduh biyung apesnya, udah jatuh ketimpa tangga lalu diketawain orang lagi. Kalau kita mungkin sudah menengadah ke atas seolah-olah dengan mata menyala-nyala berkata, “Mana Tuhan keadilanMu, mana pemeliharaanMu, mana janjiMU dan pokoknya menyalahkan Tuhan!” Belum lagi ia dilupakan oleh orang yang pernah ditolongnya. Dilupakan begitu saja jasanya. Betapa menyakitkan kalau kita dilupakan apalagi pas sedang butuh supaya diingat. Sakit…sakit…!Yusuf sekali lagi bisa jatuh dalam perasaan melihat dirinya sebagai orang yang malang, gak hoki, selalu bernasib sial dan perasaan bersalah (apa yg salah dalam diriku?), bahkan perasaan serba salah (maju kena, mundur kena). Namun toh dengan tegar ia menolak citra diri semacam itu. Dengan gampang Yusuf dapat berubah menjadi seorang pemurung atau pendendam. Sekali lagi namun dan namun ia tegar, menolak hanyut dalam perasaan.
Ketika ia sudah menjadi raja muda di Mesir, lalu saudara-saudaranya menghadap dia. Ya, mereka adalah orang-orang yang telah menjadi biang keladi dari masa-masa penderitaannya yang lama. Wah, mestinya ini adalah saat yang paling tepat untuk melunasi utang dendam plus bunganya. Akan tetapi, toh tidak. Dengan tegar Yusuf menolak dorongan manusiawinya yang paling wajar. Justru yang ia katakan dalam reuni keluarga itu adalah, “Akulah Yusuf, saudaramu yang kamu jual ke Mesir. Tetapi sekarang, janganlah bersusah hati dan janganlah menyesali diri…sebab untuk memelihara kehidupan Allah menyuruh aku mendahului kamu (ke sini.”(ay. 4-5)
Apakah rahasia ketegaran sikap seperti itu? Jawabnya adalah pada cara berpikir, pada sikap mental dan pada sudut orang memandang persoalan.
0 comments:
Post a Comment